Kepala BP Migas: Lifting di APBN Tak Sesuai Fakta

Written By Unknown on Senin, 29 Oktober 2012 | 11.24

SABAN tahun, lifting (produksi) minyak Indonesia terus anjlok. Tahun 2000, produksi minyak Indonesia mampu mencapai 1,4 juta barel per hari. Tapi, sebelas tahun kemudian, angkanya hanya 903.441 barel per hari. Pencapaian itu jauh di bawah produksi 2010 yang mencapai 944.898 barel per hari.

Kenapa bisa terjadi? Sjarifuddin dan Iwan Purwantono dari InilahREVIEW mewawancarai Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), R Priyono, di ruang kerjanya, Selasa pekan lalu. Petikannya:

Sebagai pengendali sektor hulu, BP Migas terlihat kerepotan dalam mencapai target produk (lifting) minyak. Komentar Anda?

Bicara soal lifting, tidak bisa mengacu kepada 5-10 tahun terakhir. Kita harus melihat dalam skala yang lebih besar lagi. Kenapa minyak kita berat untuk menaikkan produksi minyak mentah (lifting).

Dalam 20 tahun belakangan, cadangan minyak kita sudah banyak berkurang. Di era Orde Baru, minyak disedot habis-habisan. Pada 20 tahun lalu, sumber minyak kita mengandung 90% minyak dan 10% air. Sekarang, berbalik 180 derajat. Minyaknya tinggal 10% saja. Kalau diminta untuk produksi minyak seperti zamannya Soeharto, enggak mungkinlah.

Kalau alasannya kondisi sumur memburuk, kapan mulai turun kandungan minyak di sumber kita?

Mulai turunnya sekitar 1996. Pada saat itu, BP Migas memang belum terbentuk. Kala itu, kandungan minyak di ladang atau sumur hanya 12% saja. Kita hanya kebagian koretan (sisa-sisa) saja. Tinggal ampasnya doang.

Bagaimana dengan sumber minyak baru? Apakah belum ada temuan baru?

Untuk sumber minyak baru, memang ada. Tetapi tidaklah banyak. Yang besar seperti di Cepu. Kalau yang lainnya, kecil-kecil. Kapasitasnya antara 1.000 barel sampai 4 ribu barel per hari. Jadi, tidak mungkin bisa meningkatkan produksi minyak yang selalu turun 3%.

Ke depan, upaya apa yang bisa dilakukan guna mempertahankan angka lifting?

Bisa dengan memanfaatkan sumur-sumur peninggalan Belanda. Yakni dengan meng-EOR (Enhance Oil Recovery). Jumlah sumur-sumur yang bisa digarap, cukup banyak. Opsi ini, cukup realistis daripada eksplorasi yang membutuhkan dana besar. Untuk eksplorasi, harus seismik dulu. Kemudian bikin wildcat. Biayanya enggak murah.

Berapa jumlah sumur tua, peninggalan Belanda itu? Letaknya di mana saja?

Jumlahnya cukup banyak. Kalau kita bilang ribuan, enggak enak ya. Yang jelas ratusan. Lokasinya di sepanjang Jambi, Sumatera Selatan sampai Riau. Itu luar biasa sekali. Kalau kelas tanah, enggak bedalah sama Pondok Indah (Jakarta).

Sumur itu masih ada kandungan minyaknya?

Sumur peninggalan Belanda itu, biasanya masih punya minyak sampai 70%. Waktu primary yang diangkat hanya 20%-25%. Minyak-minyak itu menempel di pori-pori, dasar reservoir.

Satu contohnya Caltex. Era keemasan Caltex, bisa memproduksi sampai 900 ribu barel per hari. Kemudian turun sampai 400 ribu barel. Ketika Pertamina hidupkan lagi sumur-sumur itu, dengan EOR, hasilnya bisa lumayan besar. Naik dua kali lipat sampai 280 ribu barel per hari.

Kembali soal target lifting sesuai APBN. Apa kendalanya kok sulit dicapai?

Karena angkalifting dalam APBN, tidak berdasarkan fakta di lapangan. Harusnya, angka produksi sesuai kondisi terkini di lapangan yang didrop ke atas. Bukan angka dari atas didrop ke bawah.

Artinya, angka lifting sangat ditentukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan?

Iya begitu. Saya sudah kemukakan kepada Pak Agus (Martowardojo, Menteri Keuangan) mengenai masalah ini. Misalnya, pertumbuhan ekonomi ditetapkan 6,5% atau 6%, maka masing-masing sektor harus menyumbang sekian rupiah. Kemudian sumbangan itu dikonversikan dengan volume produksi minyak (barel). Sementara kondisi lapangan minyak, tidaklah memungkinkan untuk berproduksi segitu.

Apakah BP Migas pernah berdebat soal lifting minyak dengan pemerintah?

Saya pernah sampaikan kepada Pak Agus (Menteri Keuangan). Apakah mau angka riil atau prognosi dari angka pertumbuhan ekonomi? Yang saya tidak tahu bagaimana meraihnya. Kemudian, Pak Agus menjawab dengan meminta angka yang riil, karena penting dalam menentukan akurasi APBN.

Nah, kalau ingin angka yang akurat bisa dicari dengan mudah. Kita cari jumlah perusahaan minyak yang produksi. Datanya mudah didapatkan. Karena tiap well (sumur minyak), pasti ada angka produksinya, yang dijamin akurat. Kalangan industri minyak sangat paham karakteristik well yang digarapnya.

Penyakitnya apa, termasuk berapa produksinya. Dan angkanya itu, cukup rendah. Setelah ditotal, barulah ketahuan angka yang sebenarnya. Nah, kalau BP Migas punya angka sendiri yang berdasarkan pengamatan 5 tahunan. Jadi, kita punya angka yang lebih bagus lagi.

Sejak kapan perbedaan pemahaman soal lifting terjadi?

Selama lima tahun terakhir, kejadiannya begini-begini saja. Karena angkanya (lifting) drop-dropan. Di era Bu Sri Mulyani, pernah minta kenaikan 10 ribu barel. Lalu saya tanya, dari mana, Bu? Dijawabnya, ya terserah Anda. Alasannya, ekonominya harus berjalan begitu. Apalagi APBN harus segera diketok palu DPR.

Selanjutnya, kami bertemu kembali di Istana. Bu Sri Mulyani bertanya, apakah lifting bisa dinaikkan? Saya jawab saja bisa. Beliau nanya lagi, dari mana? Saya jawab saja dari langit. Karena angkanya sudah ditetapkan, ya sudah. Akhirnya ya enggak tercapai juga. Sebenarnya, menentukan angka produksi minyak itu, bisa dihitung. Semuanya scientified. Tetapi, enggak bisa di-drop dari atas atau manapun.

Selain kondisi sumur, apa lagi kendala yang dihadapi dalam meraih target lifting?

Ada beberapa kejadian penting yang cukup memengaruhi lifting. Seperti pecahnya pipa di Caltex, beberapa waktu lalu. Akibatnya, produksi turun dari 40 ribu ke 25 ribu barel per hari. Terbakarnya tanker MT Gagasan Perak di Kangean, Madura. Namun bisa segera diatasi. Terbakarnya tanker Lentera Bangsa di area CNOOC. Berdampak kepada produksinya, menurun dari 35 ribu ke 15 ribu barel per hari. Demikian pula minimnya produksi di Codeco. Seandainya semua itu tidak terjadi, target lifting yang ditetapkan 930 ribu barel per hari, aman.

Lalu, berapa angka riil dari BP Migas?

Karena berbagai kejadian itu, angka yang realistis jadinya 870 ribu barel per hari. Paling minim ya 810 ribu barel per hari. Sudah tidak bisa didongkrak lagi. Idealnya, angka lifting minyak diberikan kelonggaran, deviasi. Misalnya 5%, boleh lebih atau kurang.

Sepertinya, BP Migas tidak terima disebut gagal dalam hal lifting?

Untuk soal lifting, cukup unik juga. Kalau kementerian lain, misalnya Kehutanan, setoran ke negara kan berbentuk uang, bukan kayu dalam bentuk gelondongan. Sektor pertanian juga kontribusinya bukan berbentuk padi atau beras. Namun untuk minyak, setorannya dalam bentuk lifting. Harusnya uang juga dong.

Apabila kita berhasil memberikan kontribusi dalam bentuk dana kepada negara, berarti berhasil kan? Bukan lantas disebut lifting-nya gagal. Kalaupun targetnya 930 ribu barel per hari, kita berhasilnya hanya 810 ribu barel, barangnya enggak menghilang kok. Masih tersimpan di perut bumi Indonesia. Kan bisa berguna untuk generasi mendatang. Menyangkut sumber daya alam harus dikelola dengan baik dan adil. Bukan malah dikuras habis.

Apabila produksi minyak digenjot kan bisa mengurangi impor crude (minyak mentah)?

Tidak benar itu. Misalnya BP Migas menyanggupi produksi sebesar 1,2 juta barel, apakah impor minyak turun? Tidak begitu. Karena kita produksi 870 ribu barel saja, hanya 500 ribu barel yang diserap kilang domestik. Jadi buat apa harus digenjot besar-besar. Toh impor minyak, jalan terus. Itu tidak menjawab masalah.

Lalu kenapa Indonesia masih tergantung kepada impor minyak?

Karena kilang kita masih sangat terbatas. Karena harga crude (minyak mentah) luar negeri masih lebih murah dibanding crude kita. Kenapa Pertamina mengimpor minyak dalam jumlah besar, itu masalah di hilir.

Artinya, Indonesia seharusnya punya kilang?

Memang harusnya punya kilang sejak dulu, dalam rangka merealisasikan ketahanan energi. Tak beda, kenapa kita harus punya pesawat tempur, tank, kapal tempur atau peralatan perang lainnya? Memang tak menguntungkan, tetapi harus punya.

Kilang minyak akan sangat berguna untuk masyarakat secara langsung, sebagai jaminan stok BBM. Kalau ada apa-apa, tidak perlu impor. Produksi crude kita bisa diserap oleh kilang kita.

Terkait rendahnya lifting minyak berdampak kepada besaran subsidi BBM. Komentar Anda?

Kalau soal besaran subsidi BBM, bukan wewenang kami. Itu kan downstream management. Sedangkan BP Migas berada di upstream management. Jangan dicampur-adukkan. Kecuali kalau BP Migas boleh mengambil alih downstream management. Bisa dipermasalahkan itu.

Bagaimana suara miring dari beberapa kalangan tentang kinerja BP Migas? Bahkan sempat mencuat wacana pembubaran BP Migas?

Kami tahulah. Kita ingin memberikan pencerahan kepada masyarakat. Kita ingin sampaikan fakta untuk education people. Misalnya, Kurtubi (pengamat perminyakan) yang cukup nyaring. Dulu ketika masih di Pertamina, apa yang sudah diperbuat Kurtubi? Pengelolaan minyaknya seperti apa? Dia bisa naikkan lifting, enggak? Ingat, kondisi sumur-sumur minyak sekarang sudah payah. Itu kan warisannya era Kurtubi. Disebutkan pula dana cost recovery membengkak dari tahun ke tahun. Padahal, BP Migas perketat aturan. Selama lima tahun, kenaikannya bisa kita tahan sampai 3% saja.

Ingat lho, cost recovery itu bukan uang hilang. Dipergunakan untuk 60% local containt di industri migas. Bukan dari APBN. Kita punya keinginan 80% cost recovery dibelanjakan di dalam negeri. Tidak dibawa ke luar.

Sempat juga BP Migas disebut-sebut lebih pro asing?

Kami juga dengar, BP Migas dituduh lebih pro asing. Tetapi itu kan lucu. Pada 1970 siapa yang undang kontraktor asing ke Indonesia? Bukan BP Migas kan, tapi Pertamina. Kami tak pernah undang investor asing. Kalaupun ada yang baru, belum menghasilkan apa-apa.

Setelah ditetapkannya UU Migas, semuanya harus melalui tender. Sebelumnya tidak ada tender. Termasuk zamannya Kurtubi di Pertamina. Makanya kita mau gugat masalah ini.

Sebagai pengendali sektor hulu, bagaimana mencegah adanya 'permainan'?

Agak lebih susah ya…. Kalau di hilir mungkin pemainnya ada 3, kalau hulu pemainnya 60-an. Bagaimana mungkin merekayasa di hulu karena lebih susah. Ada Chevron, Pertamina, CNOOC dan lainnya.

Selengkapnya, artikel ini bisa disimak di Majalah InilahREVIEW edisi ke-09 Tahun II yang terbit 29 Oktober 2012. [tjs]


Anda sedang membaca artikel tentang

Kepala BP Migas: Lifting di APBN Tak Sesuai Fakta

Dengan url

http://hidupbergayabaru.blogspot.com/2012/10/kepala-bp-migas-lifting-di-apbn-tak.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Kepala BP Migas: Lifting di APBN Tak Sesuai Fakta

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Kepala BP Migas: Lifting di APBN Tak Sesuai Fakta

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger